Senin, 04 Juni 2012

Tugas Akhir


Nama : Arminiati
NIM    : 2009112207
Kelas  : VI.B

Cerpen
Jembatan Tak Kembali
Aku akan bercerita pada kalian. Bercerita tentang sebuah jembatan. Namanya adalah Jembatan Tak Kembali. Mengapa diberi nama demikian? Karena, setiap yang menyeberang di jembatan itu, tak akan kembali. Disergap oleh batas yang ada di seberang sana. Seberang yang berkabut. Dan berisi kesempurnaan.
Dan sebagai jembatan, maka Jembatan Tak Kembali adalah jembatan yang begitu indah. Kerangkanya berwarna merah. Punggungnya kuning keemasan. Sedangkan pagar pembatas samping kiri-kanannya seakan-akan selalu berputar pelan. Seperti berputarnya jarum jam yang bunyinya begitu halus. Deg-deg-deg surrr.
Tapi, meski tak kembali, selalu saja, hampir tiap saat ada yang menyeberangi jembatan itu. Dan si penyeberangnya berasal dari sekian kalangan yang berbeda. Baik berbeda umur, status, atau kepandaian. Dan rata-rata, mereka selalu menampakkan wajah yang ceria. Penuh harap. Dan gelora.
Bahkan, jika kalian saksikan, selalu saja ada di antara mereka (yang menyeberang itu) bernyanyi. Terutama bernyanyi tentang apa-apa yang membuat semua nafsu buruk memadam. Berganti dengan seribu genta mungil yang melayang-layang. Genta mungil yang berdenting. Seperti denting sebaris mantra. Mantra tentang sorga yang dicinta. Sorga yang ketemu lagi.
Dan sorga yang akan membuat mereka mencapai tingkat yang tiada tara. Tingkat, di mana, apa yang mereka sandang akan menjadi sempurna. Dan menjadi sesuatu yang menurut kabar yang ada, mencapai titik yang tak terjabarkan lagi. Misalnya, yang pintar masak, akan dapat memasak tanpa kompor. Yang pintar silat, akan bersilat tanpa bergerak. Dan yang pintar berlari, akan berlari tanpa mengenal tenaga.
”Hoi, berilah kami kelancaran untuk menyeberang!”
”Hoi, juga kelancaran agar tak terperosok!”
”Hoi, juga keteguhan diri!”
Tentu saja, meski mereka menyebut: ”Hoi!,” tapi nada suara mereka bukanlah nada yang memaksa. Sebaliknya, penuh ketulusan dan kerendahan hati. Ibarat sebuah lautan yang biru dan dalam, betapa, betapa tenangnya nada suara mereka. Dan ibarat gunung yang menjulang, betapa, betapa, sampainya puncak gunung itu ke langit lapis ketujuh.
Langit yang di semua sisinya begitu meluas dan makin meluas. Seperti tak ada lagi makhluk yang sanggup mengukurnya. Meski itu cuma di dalam pikiran dan khayalan. Pikiran dan khayalan yang sanggup untuk menulis sekian ribu halaman buku. Buku yang berisi tentang semua pengetahuan yang pernah ditemukan dan yang akan ditemukan.
”Ayo, kita menyeberang. Sampai jumpa ya!”
”Yup, kita menyeberang bersama-sama!”
”Siap! Ayo berangkat!”
Dan mereka (yang menyeberang itu) pun menyeberanglah. Dan rasanya, ketika kaki mereka menjejak di punggung jembatan, pun menjelma semacam langkah-langkah sebuah tarian. Langkah-langkah yang gemulai. Ke kiri, ke kanan. Indah dan memesona. Mungkin, jika saja langkah-langkah itu berada di atas panggung, tentu akan menjadi sebuah pertunjukan yang serasi, kompak, dan menggetarkan.
Sedangkan bagi yang melihatnya. Yang berada di pingir-pinggir, dan yang tak ikut menyeberang, cuma bisa melambai. Sambil tetap mengarahkan pandangannya tanpa berkedip. Di hati mereka, pun penuh dengan doa. Doa yang bermuara pada satu harap: ”Cepat atau lambat, kami segera juga menyeberang. Menyusul mereka. Menyusul untuk mencapai kesempurnaan. Tunggu saja.
Hmm, itulah ceritaku tentang Jembatan Tak Kembali. Sebuah cerita yang penuh teka-teki. Kenapa? Karena aku yakin, kalian pasti akan bertanya: ”Jika mereka yang menyeberang itu telah sampai di seberang jembatan. Di tempat yang berkabut dan berisi kesempurnaan, lalu apa yang dilakukannya? Apakah mereka menjadi puas? Atau ada hal lain yang perlu untuk juga diceritakan di sini?”
Ahai, pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang memang aku nanti. Dan jujur saja, ternyata, ketika telah sampai di seberang, dan memperoleh kesempurnaan yang diharapkannya itu, mereka memang menjadi lain. Apa yang mereka sandang telah mencapai pada titik yang tiada tara. Tak terjabarkan. Semuanya hanya tinggal dipinta dan diucapkan. Langsung tersedia. Dan langsung bisa untuk direngkuh.
”Aku ingin berlari ke bukit!” maka sampailah mereka ke bukit. Atau ”Aku ingin merasakan masakan paling nikmat!” pun langsung tersedia. Dan itu membuat mereka bahagia. Dan membuat mereka untuk terus-terusan mengucapkan ini-itu yang beragam. Ini-itu yang membuat mereka cuma berada di tempat. Tak bergerak. Sebab, buat apa mesti bergerak, jika apa yang diinginkan selalu tersedia di hadapan. Tersedia dalam aneka ragam yang dapat disesuaikan.
Jadinya, karena kelamaan tak bergerak, pelan-pelan mereka pun menjadi terdiam. Hanya mata mereka saja yang kedap-kedip. Mata yang begitu sempurna dan layak untuk disebut sebagai mata yang bulat, bundar, dan penuh ketenangan. Mata yang kini tampak tak lagi memikirkan bagaimana cara mengasah apa yang disandangnya.
Ya, mereka kini bukan lagi sebagai pengejar dari apa yang mesti dikejar. Sebaliknya, mereka jadi sebagai si pendiam. Si pendiam yang tak lagi menginginkan apa-apa. Sebab, apa yang mesti diinginkan, jika semuanya begitu mudah untuk terwujud dan tercapai? Dan begitu mudah untuk dibentuk hanya dengan sebuah ucapan? Dan rasa-rasanya, tanpa mereka sadari tubuh mereka pun mulai mengeluarkan serabut.
Serabut halus. Serabut yang entah apa warnanya. Tapi begitu berkilau. Dan begitu menerangi tempat di mana mereka berada. Dan saking terangnya, apa-apa yang bergeriapan di sekeliling mereka pun terlihat. Apakah itu yang terbang, merayap, berguling, atau hanya sekadar terpaku tak bergerak. Semuanya terlihat. Dan semuanya seakan-akan memang begitu bahagia hanya untuk dapat terlihat.
”Akh, aku tak jadi menyeberang deh!”
”Loh?”
”Iya. Jika akhirnya cuma seperti itu, terus buat apa.”
Ya, ya, itu adalah perkataan Jose di pagi ini. Perkataan yang mungkin kesekian kalinya. Dan memang perlu kalian ketahui, Jose adalah satu-satunya orang yang kerap membatalkan niatnya ketika akan menyeberangi jembatan.
Padahal, jika boleh aku bercerita pada kalian, semua yang ada di diri Jose sudah mumpuni. Dan layak untuk mencapai kesempurnaan. Lain itu, barangkali, hanya Jose-lah yang telah digadang-gadang oleh semua orang untuk segera menyeberang.
”Tapi, siapa nanti yang akan memberi makan kucing-kucingku?” sergah Jose.
Kucing? Astaga, inilah alasan sejak dulu yang mengganjal diri Jose untuk menyeberang. Alasan untuk memberi makan kucing-kucingnya. Dan kini, kucing-kucing Jose tidak lagi lima atau enam ekor. Tapi mungkin hampir lima puluh ekor. Dan setiap pagi, siang, dan sore selalu diberinya makan.
”Kucing-kucingku butuh makanan yang layak?” begitu tambah Jose, ”Sebab kucing-kucingku itu hampir tiap malam mengejari tikus-tikus. Tikus-tikus yang gemar merusak setiap apa yang ada di kampung. Dan kalian tahu jugakan, tikus-tikus yang merusak itu, kini semakin banyak. Gemuk-gemuk. Dan ngawur-ngawur. Bahkan, saking ngawurnya, di siang bolong pun berani merusak juga. Seperti sudah tak ada lagi yang ditakuti.”
”Terus, kapan kau akan jadi sempurna?” tanya seseorang.
”Aduh, biarlah tak jadi sempurna. Asalkan kucing-kucingku masih dapat aku urus.”
Dan seperti yang sudah-sudah, Jose pun kembali meninggalkan pinggir Jembatan Tak Kembali. Semua orang memandangnya. Semua orang melongo. Dan seperti pendekar dari dunia antaberantah, kucing-kucingnya pun mengintil. Kucing-kucing yang lucu. Kucing-kucing yang tangkas. Dan kucing-kucing yang membuat orang yang melihatnya jadi gemas.
Bagaimana tidak gemas, kucing-kucing itulah yang kerap mengganggu mereka ketika sedang makan. Atau sedang enak-enak tidur. Sebab, tingkah laku dan suara ngeongnya demikian keras dan memekak. Apalagi jika sudah memasuki musim kawin. Ck ck ck kampung pun seakan-akan berubah menjadi panggung simponi yang ribut. Simponi yang sering membuat genting-genting bergeser.
Jose, Jose, ya, itulah nama orang yang tak mau menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Jembatan untuk memperoleh kesempurnaan. Hanya karena tak mau meninggalkan kucing-kucingnya. Dan karena ketakmauannya itulah, banyak orang di kampung yang membicarakannya. Ada yang bangga. Ada yang cuek. Dan ada pula yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh.
Si aneh yang lebih suka memberi makan kucing-kucingnya daripada mengejar kesempurnaan hidupnya. Dan mereka yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh ini, semakin lama, semakin bertambah. Dan siasat pun mulai mereka gariskan. Yaitu, bagaimana caranya agar kucing-kucing Jose dapat berkurang.
Mulailah mereka mencuri kucing-kucing Jose. Yang kuning. Yang coklat. Yang hitam. Yang putih. Dan yang kelabu pun dicurinya. Dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke luar kampung. Sampai akhirnya, kucing-kucing Jose habis. Dan Jose pun kelimpungan. Dan Jose pun menjadi sedih. Setiap waktu, setiap saat, kerjanya cuma mencari kucing-kucingnya yang hilang.
Dan di antara rasa sedih dan mencari inilah, mereka yang telah mencuri kucing-kucing itu, berkata pada Jose: ”Jose, percayalah, kucing-kucingmu itu telah menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Menyeberangi secara diam-diam.” Tapi anehnya, sejak perkataan ini terlontar, sejak itu pula sosok Jembatan Tak Kembali pun jadi menghilang. Tak berjejak. Seperti ditelan kegaiban.
Dan tikus-tikus, yang kini tak lagi punya penghalang itu, pun segera merajalela di kampung!
















Puisi

Sujud Ku

Bersimpuh aku di hadapan- Mu
Meminta segenap keridhoan- Mu
Berkata ku dalam do’a memohon pada- Mu
Mengakui segala kelamahan ku
Menggorek semua dosa
Berharap siraman deras ampunan- Mu
Ya Robb….
Dalam sujud ku pinta kepada- Mu
Sedikit sekali yang ku ingin
Dalam segenap kuasa- Mu.


Karya : Arminiati (2009112207)
Kelas : VI. B






Drama
Patung Kekasih


PEMATUNG MUDA
PEMATUNG TUA
SRINTIL
WANITA PERTIWI
KACUNG

BABAK I

Studio seorang pematung.
Sesuatu pemandang yang tak selesai: beberapa peralatan disebuah pojok, beberapa patung jadi dan beberapa patung lainnya yang terbengkalai, tata warna kusam – namun siap untuk menggalami perubahan setiap saat. Menuju keremangannya, dari arah depan lurus panggung, muncul perlahan-lahan Wanita Pertiwi. ( entrance ) Kostumnya, rambutnya yang panjang bergerai, matahari wajahnya dan ruh yang menjadi rahasia matanya, serta keseluruhannya — memancarkan alam. Pada sebuah kursi, di pusat panggung, ia berhenti dan duduk menghadap punggung panggung. Ia mematung, tetapi seseorang akan menjadi sangat dungu apabila berani menyangganya sebagai benar-benar patung.

Tiba-tiba, muncul dari stu sudut panggung, Pematung Muda. (entrence) Pematung Muda baru berani sedikit mencuri pandang ke Wanita Pertiwi tatkala sudah berada ditempat yang terbebas dari wajah Wanita Pertiwi.

PEMATUNG MUDA
Pasti saudara-saudara menyesal kenapa ia tidak menghadapkan wajahnya kearah saudara-saudara!tapi justru bersyukurlah, karena apabila sempat saudara-saudara menatap matahari wajahnya serta roh yang menjadi rahasia matanya saudara-saudara akan tiba-tiba menjadi penyair!
Lihatlah : ia duduk mematung.
Tetapi seseorang akan menjadi sangat dungu apabila berani menyangganya sebagai benar-benar patung.
Ia, untuk waktu seperti yang tak terbatas, diam saja menatapi ruang hampa, dan sekedar seserpih senyumannya saja cukuplah untuk menyodorkan segala nomer musik, puisi, kembang, atau langit semesta, yang membuat kita tergagap karena merasa terkepung.
Hm. Edan! Saudara-saudara tahu sendiri: sayapun telah menjadi seorang penyair remaja!

Tiba-tiba terdengar benturan kecil dua benda keras. Pematung muda bergeser ke satu sisi yang aman. Ternyata Pematung Tua muncul dengan membawa alat pahat. (entrance)
Seperti tak ada siapa-siapa diruangan itu, ia mondar-mandir, tanpa kata, seperti mempersiapkan sesuatu. Kemudian terbatuk-batuk, dan hilang kebalik panggung. (exit)
Pematung Muda meruang lagi. Langkah gontai. Gerak-gerik kurang menentu. Wajahnya memancarkan banyak hal sekaligus : gairah dan cita-cita amat tinggi, keputusasaan, apatisme.

PEMATUNG MUDA
Baiklah. Supaya saya tidak dianggap pencuri disini sebaiknya saya memperkenalkan diri.
Saya: seorang pematung. Paling sedikit: calon pematung. Atau kalau masih terasa masih kurang jujur: minimal cita-cita saya adalah menjadi seorang pematung.
Tetapi hal ini langsung menyangkut satu hal yang amat menjadi beban hidup saya, bahkan menindih kepal saya dari hari ke hari.
Yakni bahwa penghalang utama cita-cita saya itu adalah Bapak saya sendiri : seorang pematung terkenal yang saya amat benci sekali:

Memang sama sekali tidak enek kedengarannya tapi lebih tidak sedap lagi untuk mengalaminya: sakit, perih, merangsang rasa putus asa.
Maaf saudara-saudara kalau saya mengeluh tetapi yakinlah bahwa saya bukan anak durhaka yang suka menceritakan keburukan-keburukan Bapak sendiri: seorang lelaki yang filsafat hidupnya bejat, yang moralny moral ayam, air ludahnya terdiri dari ramuan lender borok dan air kencing setan, yang eksploitator! Yang penindas!—
Tidak saudara-saudara. Saya bukan anak didik iblis meskipun kata-kata saya memang mengandung nyala api.

Akan tetapi cobalah, cobalah pandang Wanita Pertiwi ini!cobalah pandang baik-baik. Saya akan sangat kagum pada saudara-saudara, sebab saya sendiri tak akan pernah berani sedetikpun menatapnya. Bahkan rasanya sejak beribu tahun yang lalu dan sampai abad-abad yang akan dating, tetap saya tak akan tak kecut memandangnya.
Maafkan kalau saya memakai kata-kata yang biasanya diucapkan oleh mulut para penyair. Tapi yakinalah bahkan Shakespeare dan Darmawulan tak kan mampu menciptakan puisi yang keindahnnya bias menandingi keagungan Wanita Pertiwi ini.
Cobalah pusatkan diri saudara-saudara, bulatkan roh dan mantapkan sukma. Kalau pikiran saudara-saudara sedang berlari kesana kemari, cobalah tarik kembali. Kalau sukma saudara-saudara sedang pecah dan tercecer-cecer, himpun kembali ia. Kemudian siapkan seluruh kebulatan dari saudara-saudara untuk menatapnya! Dan menerima anugrah dari keagungannya! Ayo coba, coba…

Tanpa sepengetahuan Pematung Muda, Wanita Pertiwi bangkit pelan-pelan, dan beringsut pergi, lenyap kebalik panggung. (exit) (dalam suatu progresi yang amat lembut).

PEMATUNG MUDA
Cukup saudara-saudara! Cukup! Jangan terlalu lama memandangnya, supaya terhindar dari akibat-akibat yang bisa berbahaya!
Sekarang, anggap ia tak pernah ada. Saya berdoa kepada Tuhan, semoga saudara-saudara diperkenankan sungguh-sungguh mengetahui apa yang sebenarnya duduk dengan anggun ini. Soalnya, terus terang saja, bahkan para Malaikat belum tentu mampu melukiskan keindahnya.

O ya – saya akan membuka sebuah rahasia! Tapi jangan bilang-bilang. Saudara-saudara, pengarang naskah lakon ini diam-diam menuliskan suatu gambaran tentang Wanita Pertiwi ini, tetapi tidak dipaparkan kepada kita.
Mungkin karena ia merasa cemburu, atau paling tidak ia pasti ingin memonopoli keindahan yang maha dasyat ini buat dirinya sendiri.
Itu biasa tidak ada seniman yang tak egois. Tapi dengarlah, saya akan buka kedoknya! Begini saudara-saudara, pengarang yang tak kawin-kawin itu , melukiskan dengan hati berdebar-debar:

“ Seluruh butir-butir keindahan dunia dan umat manusia, yang dikandung oleh sejarah, ruang dan waktu. Jika digabung menjadi satu keutuhan – maka separohnya cukup diwakili oleh sinar wajah Nabi Yusuf, dan separohnya lagi oleh rahasia yang dikandung Kekasih kita ini!
Seluruh alam semesta, berpusat dipancaran matanya
Segala macam model cinta kasih, tumpah dipangkuan sikap diamnya.
Dan segala jenis kekuatan lelaki, menjadi loyo dikelingking jari tangannya!” (tertawa)
Saudara-saudara, bayangkanlah betapa pubernya pengarang kita ini!
“ Inilah! – demikian katanya lebih lanjut, jenis wanita yang sering menbuat gagap setiap lelaki di hadapanya. Karena apabila tersenyum, maka senyumnya tidak untuk lelaki, tapi untuk dunia!
Jika matanya sedikir mengerling : awan-awan dilangit akan sangat kaget, sehingga tumpahlah hujan dan basahlah bumi!
Jika dagunya terangkat sedikit, gunung-gunung akan segera merundukan mukanya. Gunung yang lama mati mendadak hidup kembali, dan gunung yang telah berapi, segera kehilangan diri, memuncratkan lahar panasnya berulang kali!
Jika wanita ini mengundang ia tak mempersilahkan.
Dan jika ia menantang ia tak menyediakan pelayanan…..”
Bayangkan --- saudara-saudara, demikianlah puisi sang pengarang, yang penuh dengan kata-kata muluk yang menggelikan hati, tetapi bisalah dimuat di kolom-kolom remaja Koran local kota ini.
Setengah mati ia berusaha melukiskan keindahan ini padahal semua orang cerdik pandai bersepakat bahwa keindahan yang sejati, tak sepatutnya dilukiskan, dengan cara apapun –
Karena puisi-puisi, lukisan, nyanyian, patung semuanya hanya palsu belaka! Semuanya hanya mencerminkan ketololan senimannya! – dan inilah saudara-saudara, sumber utama kebencian saya kepada bapak saya!
Ini soal prinsip!

Tiba-tiba (entrance) tiga Kacung berbaris resmi , training, suatu komedi robot-robot, melintas panggung, (exit).

PEMATUNG MUDA
Saya ulangi saudara-saudara: ini soal prinsip. Mematung itu bukan bagaimana membikin pating. Bukan mengalihkan keindahan atau menirunya. Sebab keindahan sejati tak bisa ditiru atau dialihkan.

Bikin patung itu bukan memahat sesosok kematian, bukan menciptakan benda mati untuk dijual. Mematung itu suatu pekerjaan untuk bergabung kepada denyut hidup sebuah keindahan.

Dan Wanita Pertiwi ini bukan seorang model, yang akan diterjemahkan menjadi benda mati, melainkan sumber cinta kasih, dan merupakan tempat kembalinya segala pengembaraan cinta kasih itu.
Patung sangat mendekatkan kita pada kematian sedang cinta kasih adalah sukma kehidupan, dan kita berada ditengah-tengahnya, penuh tantangan dan jebakan.
Saudara-saudara, saya berani bertanding melawan Bapak saya dalam mengerjakan keindahan ini.

Tetapi saya tidak punya hak apa-apa, Bapak adalah pemilik tunggal dari Wanita Pertiwi ini.

Saya sangat bersedih, karena perbedaan utama saya dengan bapak saya ialah bahwa saya tidak pernah menganggap Wanita Pertiwi ini sebagai kuda tungganan atau tambang emas yang bisa diserap atau diperas.

Tidak! Ia terlampau indah untuk diperlakukan begitu! Bahkan saya bersedia untuk tak usah menjadi pematung asal saja diperkenankan untuk menunjukan iktikad baik dan cinta kasih saya, dengan cara mencium keningnya sepanjang masa….

Tapi jangan khawatir, saya tidak akan pernah berani sungguh-sungguh menciumnya – tapi saksikanlah saya, dengan penuh gempa bumi dalam dada, akan mencium tanah di depan telapak kakinya…

Pematung Muda bergeser mendekati tempat Wanita Pertiwi, tanpa menatapnya, bersujud mencium tanah didepannya tapi segera sadar bahwa Wanita Pertiwi hanyalah bayangannya.

PEMATUNG MUDA
Maaf saudara-saudara, kenapa saudara tidak bilang bahwa Wanita Pertiwi ternyata tak ada disini?!...
Uh! Pastilah saya nampak seperti orang gila. Tapi saudara-saudara tentulah tahu juga: kalau saya melamun, mimpi, itu pasti dasyat juga maknanya!
Bagi orang yang pernah mengalami kepalsuan-kepalsuan kenyataan, pasti akan berpihak kepada mimpi juga!....



PEMATUNG TUA
Kacung! Bawa dia kemari!
Suara dan kehadirannya memotong kegiatan Pematung Muda. (entrance) Membawa beberapa alat path, munculnya Pematung Tua diwarnai oleh gerak-gerik yang amat mengacuhkan Pematung Muda. Bahkan kemudian ia menatapnya saja dengan angkuh sampai anaknya ini beringsut pergi dengan melayani keangkuhan itu.
Pematung Muda exit.
PEMATUNG TUA
Kacung! Apa perlu kupanggilkan Dokter Telinga!

KACUNG (suaranya)
O ya ya Tuan….
PEMATUNG TUA
Ya ya apa!
KACUNG (suaranya)
Dokter Telinga …eh….
PEMATUNG TUA
Bangsat tengik komunis kamu! Kemari!
KACUNG (tiga orang)
Siap Tuan! (berbaris, entrance)
PEMATUNG TUA
Apa kuperintahkan tadi!?
KACUNG (salah seorang)
Bawa dia kemari!
PEMATUNG TUA
Kurang keras!

KACUNG
Bawa dia kemari!!!
PEMATUNG TUA
Bagus. Laksanakan!
KACUNG
Siap Tuan! (exit)
PEMATUNG TUA (kesudut lain dari ruang, melakukan persiapan untuk bikin patung)(tiba-tiba melihat dua kacung masih berdiri di pojok seperti robot mati)
kalian berd….
KACUNG (bersama)
Siap Tuan!
PEMATUNG TUA
Dengarkan dulu sampai aku…..
KACUNG (bersama)
Siap Tuan!
PEMATUNG TUA
Baik. Baik. Kau, hapalkan Undang-undang Dasar Perpatungan Nasional….
KACUNG (salah seorang)
Siap Tuan! Bahwa kemerdekaan adalah hak segala pematung…..
PEMATUNG TUA
Diam tolol! Jangan dihafalkan disini. Disana! Di belakang! Dekat WC!
KACUNG (salah seorang)
Siap Tuan! (exit)
PEMATUNG TUA
Dan kau! Hapalkan A-B-C-D!
KACUNG
Siap Tuan! Dekat WC!
PEMATUNG TUA
Cepat pergi! (meneruskan kegiatannya)

Dalam kegiatan tanpa kata itu menjadi keliahatan wajah dan perwatakan Pematung Tua yang sukar diduga dan mengandung berbagai kemungkinan nilai.
Muncul Kacung (yang pertama), bersama Wanita Pertiwi dan Srintil, gadis yang lugu tetapi memperlihatkan potensi kecerdasan tertentu.
KACUNG (keras dan resmi)
Laporan! Dengan ini saya melaksanakan tugas dari pada saya membawa wanita model daripada Tuan. Bersama seorang putrid daripada wanita itu Sekian laporan daripada saya
Selesai!
PEMATUNG TUA
Bagus. Cepat mundur sana!
KACUNG
Siap Tuan! (berjalan mundur, exit)

Sesudah itu terhadap Wanita Pertiwi, sikap dan nada prilaku Pematung Tua, adalah lain sama sekali. Kelembutan dan kembang memancar dari setiap katanya.


PEMATUNG TUA (kepada Wanita Periwi)
Setiap kali berada dihadapanmu, aku merasa kata-kata yang muncul dari pikiranku selalu agak kurang tepat dan tidak sopan. Namun terhadap sesosok keindahan seperti ini haruslah diucapkan: selamat datang, kekasih!

Wanita Pertiwi tak bergeming, Srintil menunjukan desah dan gerak-gerik yang tidak menyukai hal itu.
PEMATUNG TUA
Semoga hari ini keberuntungan bersamaku karena para malaikat pastilah membantu.
Kekasih, silahkan duduk.
Kursi ini buruk, tetapi segera akan menjadi indah begitu engkau menyentuhkan tubuhmu diatasnya!
WANITA PERTIWI (tersenyum kecil dan mahal, tak bergerak)
SRINTIL
Ibuku yang pertiwi, marilah duduk akulah yang akan melihat apakah dibawah kursi itu, terdapat seekor ular berbisa.
(membimbing Wanita Pertiwi)
PEMATUNG TUA (tertawa)
Putrimu ini sangat cerdas, semua manusia memang membenci ular berbisa. Tetapi berkat kecerdasannya, manusia juga yang akhirnya mengerti, bahwa ular berbisa adalah segala lambang segala ilmu obat-obatan dan lambang segala kesehatan dan kebahagiaan.
SRINTIL
Ular berbisa usapan lidahnya amat lembut sehingga lenyaplah kesadaran kita untuk mengetahui bahwa antara kebahagiaan dan malapetaka, hamper tak ada bedanya.


PEMATUNG TUA
Bagus, bagus, anak manis! Kulihat engkau sangat peka terhadap nasib Ibumu, maka sesungguhnya tidaklah ada perbedaan pendapat di antara kita: kita sama-sama mengasihinya!
Hmm. Bagaimana aku harus memanggilmu?
SRINTIL
Tuan tidak harus memanggilku!
PEMATUNG TUA
Anak yang manis – maksudku siapa namamu?
SRINTIL
Namaku tidak penting untuk Tuan. Maupun untuk diriku sendiri!
PEMATUNG TUA
Bukan main! Engkau bukan sekedar berkepal batu, tapi kuduga seluruh isi kepalamu itu memang terdiri atas tumpukan batu-batu.
SRINTIL
Untuk semboyankan kepala ular, anak-anak kecil biasa memakai bongkahan batu.
WANITA PERTIWI
Srintil: sudahlah.
PEMATUNG TUA
O, tak apa-apa – He? Srintil namamu! Dengar! Bagiku segala sesuatu adalah kekasih hati juga setiap mata yang seolah-olah menyakitkan hati! (beralih kepada Srintil) Anak manis buah kekagumanku! Jika nama tidak penting bagi kita maka tunjukanlah hal yang sekiranya bisa kau anggap penting.


SRINTIL
Ialah, kehadiranku disini menyertai Ibuku yang Pertiwi Dihadapan kelembutan Tuan yang ganas!
WANITA PERTIWI
Anakku! Sudahlah.
PEMATUNG TUA
Hmm. Srintilmu yang centil ini bagaikan matahari di waktu fajar, ia akan muncul dengan cahaya cemerlang tetapi kini masih di bungkus oleh kabut yang remang.
Segala kesan dan bayangannya terhadap diriku dianggapnya seakan-akan merupakan kenyataan, sehingga lahirnya sikap-sikap yang menantang.
Namun, percayalah, itu tak akan jadi persoalan, sebab aku senantiasa bersedia memaafkan.
SRINTIL
Akulah yang tak akan bersedia memaafkan, jika apa yang ku kawatirkan benar-benar akhirnya menjadi kenyataan.
PEMATUNG TUA
Engkau memang tak perlu menyediakan pemaafan. Karena tak akan ada hal-hal yang perlu dimaafkan.
SRINTIL
Demikianlah cara seekor ular berbisa meletakkan perangkapnya!
PEMATUNG TUA
Engkau, anak manis, benar-benar masih perawan.


WANITA PERTIWI
Semuanya! Sudahlah. Pekerjaan kit asekarang ini bukanlah untuk saling berpantun-pantun. Tuan sebagai pematung yang berpengalaman tentulah tahu bagaimana tak menghambur-hamburkan waktu.
PEMATUNG TUA
O, pasti, pasti, kekasih….
SRINTIL
Hanya pematung picisan yang suka memurah-murahkan kata kekasih-kekasih-kekasih….
PEMATUNG TUA
Cinta kasih sangatlah luas wilayahnya, kuharap engkau mampu melihatku tida sebagai pemuda puber yang silau matanya….(Srintil tertawa) Tapi baiklah, segera kita mulai pekerjaan ini! (ancang-ancang dengan mengambil jarak dari Wanita Pertiwi, manatapinya, memandanginya) Aku rasa – ruangan ini memerlukan konsentrasi.
SRINTIL
Maksud Tuan?
PEMATUNG TUA
Ruangan ini memerlukan keutuhan Artinya, di sini tak perlu ada hal-hal yang kurang perlu, yang bisa mengurangi keutuhannya.
SRINTIL
Tuan mengusirku?
PEMATUNG TUA
Sama sekali tidak. Tetapi syarat pertama segala kesenian dan keindahan adalah keutuhan.

SRINTIL (sinis)
Ternyata kesenian bisa menjadi tiran.
PEMATUNG TUA
Itu tergantung cara memandangnya.
SRINTIL
Relative, begitu!
PEMATUNG TUA
Tepat.
SRINTIL
Relativ. Relatifitas. Itulah tirani nyata atas kehidupan manusia.
WANITA PERTIWI
Engkau menjadi mulia dengan mengalah, nak.
SRINTIL
Brengsek. Dari semula aku tak sependapat Ibu berurusan dengan pematung macam ini.
Wataknya nggegirisi. Kalau dipilih, ia segera menjadi pemerintah yang mencelakakan kita!
(exit).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar